Belum Selesai (catatan : Maret 2014)

Matahari mulai menusuk wajah kami melalui rabaannya melalui jendela kaca, tidak ada yang tau gelapnya subuh mulai menerang. Selalu ada masalah yang kami buat ketika harus terbangun dari tidur.



Satu periode kepengurusan dalam misi mengabdi telah kami tuntaskan dengan meninggalkan masalah dan rasa khwatir kami kepada penerus tongkat estafet kami ini, banyak yang harus kami akui bahwa kami bukanlah tim yang sehebat dan sekompak yang terlihat, kami datang dan tampil dari acara demi acara, proker demi proker, mesjid ke mesjid, dan dari panggung ke panggung harus diakui itu bukan hal yang mudah.

Dari masalah itu kami belajar melawan rasa takut kami  yang buas, bukan takut karena acara kami akan gagal melainkan takut apakah ini bisa sebagai pengalaman ke depan. Seperti ditempat lain masalah yang kami alami hampir sama, banyak diantara kami harus terpaksa meninggalkan kami satu demi satu dan alasannya pun hampir sama yaitu demi prioritas. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa kita dapat melakukan semua kegiatan ini akan bakal seimbang, tidak ada yang bisa menjamin bahwa kita bisa sukses dengan beberapa bidang yang dilakukan secara bersama-sama, tidak ada yang bisa menjamin kita akan bisa teguh dengan pendirian kita, dan tidak ada yang bisa menjamin k’lo kalian akan selalu nyaman bersama kami.

Sampai-sampai aku baru sadar aku mulai lupa kalo matahari masih terbit dari timur, hari-hari hanya dilewati sebagai malam yang selalu gelap dan saya enggan melihat panasnya matahari. Aku mungkin bisa tidak makan dan minum 2-3 hari, hidup seminggu tanpa uang didompet, tapi untuk menunggu selama 1 jam itu butuh pertaruhan yang amat besar, itulah yang aku rasakan ketika bersama kalian yang sangat amat luar bisa membersamai kami dengan sabar.

Marah, sedih, tawa, air mata, dan darah kalian tidak akan pernah sia-sia kawan.

Kemarin kita baru saja naik gunung sambil mendengarkan lagu dengan khusyuk dikegelapan.
Kamarin kita mendapat kabar teman kita pergi ke suriah yang tidak tahan dengan tangisan saudara-saudaranya.
Kemarin kita melihat teman kita masih tertawa meski ibunya telah dipanggil sang pencipta.
Kemarin kita merasa malu dengan teman kita yang harus banting tulang demi kuliah dengan sabar meski ibu dan bapaknya telah tiada.
Kemarin ibu dari teman kita harus menjual motornya demi kuliah anak-anaknya.

Kami datang karena generasi 98 mewariskan menitipkan reformasi kepada kami, itu menjadi suatu musibah terbesar yang harus kami emban.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar