Matahari mulai menusuk wajah kami melalui rabaannya melalui jendela
kaca, tidak ada yang tau gelapnya subuh mulai menerang. Selalu ada masalah yang
kami buat ketika harus terbangun dari tidur.
Satu periode kepengurusan dalam
misi mengabdi telah kami tuntaskan dengan meninggalkan masalah dan rasa khwatir
kami kepada penerus tongkat estafet kami ini, banyak yang harus kami akui bahwa
kami bukanlah tim yang sehebat dan sekompak yang terlihat, kami datang dan
tampil dari acara demi acara, proker demi proker, mesjid ke mesjid, dan dari
panggung ke panggung harus diakui itu bukan hal yang mudah.
Dari masalah itu kami belajar
melawan rasa takut kami yang buas, bukan
takut karena acara kami akan gagal melainkan takut apakah ini bisa sebagai
pengalaman ke depan. Seperti ditempat lain masalah yang kami alami hampir sama,
banyak diantara kami harus terpaksa meninggalkan kami satu demi satu dan
alasannya pun hampir sama yaitu demi prioritas. Tidak ada yang bisa menjamin
bahwa kita dapat melakukan semua kegiatan ini akan bakal seimbang, tidak ada
yang bisa menjamin bahwa kita bisa sukses dengan beberapa bidang yang dilakukan
secara bersama-sama, tidak ada yang bisa menjamin kita akan bisa teguh dengan
pendirian kita, dan tidak ada yang bisa menjamin k’lo kalian akan selalu nyaman
bersama kami.
Sampai-sampai aku baru sadar aku
mulai lupa kalo matahari masih terbit dari timur, hari-hari hanya dilewati
sebagai malam yang selalu gelap dan saya enggan melihat panasnya matahari. Aku
mungkin bisa tidak makan dan minum 2-3 hari, hidup seminggu tanpa uang
didompet, tapi untuk menunggu selama 1 jam itu butuh pertaruhan yang amat besar,
itulah yang aku rasakan ketika bersama kalian yang sangat amat luar bisa
membersamai kami dengan sabar.
Marah, sedih, tawa, air mata, dan darah kalian tidak akan pernah
sia-sia kawan.
Kemarin kita baru saja naik gunung sambil mendengarkan lagu dengan
khusyuk dikegelapan.
Kamarin kita mendapat kabar teman kita pergi ke suriah yang tidak tahan
dengan tangisan saudara-saudaranya.
Kemarin kita melihat teman kita masih tertawa meski ibunya telah
dipanggil sang pencipta.
Kemarin kita merasa malu dengan teman kita yang harus banting tulang
demi kuliah dengan sabar meski ibu dan bapaknya telah tiada.
Kemarin ibu dari teman kita harus menjual motornya demi kuliah
anak-anaknya.
Kami datang karena generasi 98 mewariskan menitipkan reformasi kepada
kami, itu menjadi suatu musibah terbesar yang harus kami emban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar